Dec 12, 2010

Teori Cinta Jaman Batu.


Mencintai dan dicintai adalah merasakan kehangatan matahari dari kedua sisi (pepatah lama). It’s damn true. Tak usah munafik, Pertanyaannnya adalah, seberapa banyak yang ikhlas mencintai saja, atau dicintai saja?
Jawabanya adalah SEDIKIT. Mengapa? Ini dilihat dari perspektif logika ya, bukan perasaan. J
adi tidak melulu melankolis. Sesekali wajib realistis. Tujuan dari mencintai itu adalah dicintai kembali juga, bukan? Tetapi prinsip ini tidak berlaku sebaliknya. Belum tentu orang yang dicintai berharap bisa mencintai orang yang mencintainya (bingung? semoga tidak :D).
Tujuan mencintai seharusnya tulus, layaknya Guru tanpa tanda jasa. Namun, seiring berubahnya zama
n, tuntutan akan kebutuhan pun meningkat. Semua harus dibalas setimpal. Sempat berfikir kita kembali ke zaman Flinstone (Batu-red), yang semuanya dilakukan dengan system barter. Mari kita masukkan konsep barter ke dalam prinsip cinta.
Mencintai, (sekarang) membutuhkan balasan,
yaiutu dicintai. Mungkin hanya segelintir orang yang masih menerapkan gaya mencintai konservatif. Contohnya, mengirimi surat kepada yang terkasih, walaupun objek yang dituju enggan (banget) membalas surat-surat tersebut. Ya iyalah, percuma hidup di zaman hi-tech. Masih zaman aja pake surat-suratan. Ngabisin pohon tau.
Atau contoh lain, masihkah ada subjek yang mencintai objek bergerak, dan kemudian hanya termangu memendangi keindahan objek bergeraknya itu? Seperti kisah telenovela saya rasa. Manusia sudah semakin pintar. Nah, disinilah pergeseran nilai cinta terjadi. Dari tulus menjadi pamrih.
Tidak bisa dipungkiri, semua insan membut
uhkan pasangan.Untuk sekedar berbagi, barangkali. Ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan nilai cinta. Mencintai pun begitu adanya. Dengan berani memulai mencintai, maka ia berarti memberi peluang seluas-luasnya kepada dirinya untuk dicintai kembali.
Lidah tidak bertulang, memang. Klasik, jika masih ada insan yang SOK mencintai dengan tulus. Maksudnya tanpa mengharapkan balasan, setidaknya jawaban, walau i
tu akan mengecewakan. Tidak banyak juga orang (bodoh) yang rela mencintai satu objek bergerak terus sampai mati. Konyol saya rasa.
Bagaimana jika balasan yang diterima
tidak sesuai dengan harapan? Mudah. Ingat saja pepatah “terkadang harapan tidak sesuai dengan kenyataan”. Yang terpenting dalam proses ini apa? KEBERANIAN! Ya, keberanian mengharapkan balasan (apapun itu-red) lah yang dinamakan tulus. Bukan hanya berdiam diri, maka sewenang-wenang insan berkata “saya tulus mencintainya, bahkan dari kejauhan saja..”. WHAT THE???!!! Hey, objek bergerakmu juga tidak tahu jika Engkau tidak mem-verbalkannya!
Dia membalas cintamu? Hey, oke! Lanjutkan (bukan kampanye). Dia adalah orang yang beruntung mendapatkan cintamu yang begitu besar. Dia tidak membalas perasaanmu? Hey, tenanglah! Diluar sana masih banyak kupu-kupu beterb
angan. Tergantung caramu mendapatkannya saja. Ia lah objek bergerak yang belum beruntung mendapatkan cintamu.
Pada intinya, ketulusan disini be
rarti kesediaan diri menghadapi kenyataan (apapun) ketika kita sudah berani mengambil sikap lanjut atas rasa mencintai tersebut. Bukan hanya menjadi pengecut, yang tidak berani melompat tinggi karena takut terjatuh. Jadilah pemberani, yang mampu terbang tinggi walaupun ia tahu jika ia jatuh pasti akan sakit. Setidaknya, dari rasa sakit itu ia bisa menemukan rasa manis… :)
\

Rawamangun, 10 December 2010





Share:

0 comments:

Post a Comment