"Life is about struggling. Fighting for someone/something who
deserved of being chased. Just like someone who i was so hardly fight for..."
Saya punya sisi buruk. Everyone has. Tapi saya rasa ini juga
bakat. Unik dan err..aneh. Yaitu menggampangkan kehadiran seseorang dalam hidup
saya. Sepele. Bahasa orang beragamanya mah “kurang bersyukur”. Ini kasus besar,
yang mungkin nanti akan menjadi bumerang bagi hidup saya. Oh, tidak....
Kasus ini diperkecil skalanya. Hampir 2 tahun belakangan ini
saya dekat dengan seseorang. Silahkan pembaca sebut namanya apa, terserah. Pacar,
mungkin istilah common di society
sekarang. Tapi bagi saya, maknanya lebih dari itu. Ia teman paling baik,
sahabat, kakak, dan tidak jarang berperan sebagai ibu, bahkan ayah bagi saya :)
Tidak usah bertanya masalah perasaan (aku pinjam istilahnya
ya, silent-man :D). Apa sih yang
mengakibatkan seseorang begitu care satu
sama lain kalau bukan ada perasaan yang mengikat erat? Sederhananya, cinta. Meski
5 huruf itu tak mungkin cukup untuk menjabarkan perasaan itu sendiri, tapi
biarlah ia hanya disederhanakan dengan 1 kata itu.
Semua berjalan baik-baik saja, bahkan hingga melebihi tahun
pertama. Namun beberapa bulan terakhir ini, lisan saya sepertinya sangat tidak
terjaga. Entah sudah puluhan kali tercetus keinginan untuk mengakhiri kedekatan
ini. Labil. Alasan pun datang dari mana saja. Mulai dari capek kuliah, target
skripsi, masalah-masalah lain, semuanya selalu berujung pada keinginan saya
untuk mengakhiri hubungan kedekatan.
Tetapi, demi seluruh Dzat yang menguasai alam ini, demi
hidup saya sendiri, sebenarnya tidak pernah ada keinginan SAMA SEKALI untuk
menihilkan hadirnya di dalam hari-hari saya selanjutnya. Ungkapan mengakhiri
hubungan mungkin ekspresi TERBURUK (do no try this, please) dari kekesalan atas
faktor-faktor lain. Pelampiasan, bahasa sarkasme
nya. Betapa buruknya sikap saya...
Tapi mungkin seperti yang saya katakan di awal wacana, saya
ber-BAKAT untuk menyepelekan kehadiran seseorang dalam hidup saya. Berulangkali
ungkapan pengakhiran hubungan, berulangkali pula ia menahan. Mencegah. Memberi solusi.
Entahlah, mungkin saya lebih tepat disebut sebagai ababil (abege labil). Dari sisi
sifat dan sikap tentu.
Beruntung ia selalu bersabar dan tabah dalam menghadapi
kelabilan saya. Namun, layaknya manusia biasa, ambang batas sabarnya juga pasti
ada. Sampai beberapa malam kemarin, batas sabarnya mungkin sudah melebihi
kuota. Tumpah. Tidak usah saya jelaskan secara rinci apa yang ia katakan dan
lakukan, tapi 1 hal : ini sakit. BANGET. B – A – N – G – E – T. Rasanya seperti
ada 1 ruangan dalam hati lo yang kosong, dan itu dipakai setan untuk nusuk2
bagian hati lo yang lainnya.
Apa yang harus saya lakukan? Pertahankan. Saya ingat ucapan
beberapa teman yang mengatakan “kalo lo yakin dia pantes buat dipertahanin,
pertahanin sampe mati...”. oh GOD, dengan sisa hati yang masih dicabik-cabik
saya pun mempertahankan keutuhan hati saya dan dia. Mudah? Tidak sama sekali. Mungkin
ini yang dinamakan karma, saya harus merasakan penderitaan yang saya lakukan
terhadapnya dulu kala dengan waktu beberapa jam kemarin.
Bukan, bukan dia yang jahat ataupun gengsian. Tapi memang
saya yang salah. Saya yang tidak bisa mempertahankan, menjaga orang2 baik di
sisi saya. BeruntungIah ia percaya bahwa saya bisa berubah
I deserved of feeling this, and he deserved of being chased.
Sisa-sisa malam dan air mata yang tak juga kering pun menjadi prasasti, betapa
saya pernah mempertahankan seseorang yang begitu pantas untuk saya pertahankan.
Entah bagaimana coretan yang akan saya dan dia tuliskan selanjutnya. Saya berharap
masih berwarna seperti dulu kala. Namun
kepastian bahwa saya akan berubah menjadi lebih menghargai sudah di depan mata.
Saya sadar ini seperti palu godam yang tepat menancap di ulu
hati saya. Tapi mungkin saya pantas untuk dapat itu. Saya berjanji untuk tidak
akan lagi menihilkan hadirnya seseorang yang baik dalam hidup saya. Semoga begitu
juga dengan anda. Jika hal ini pun menimpa anda, segeralah lakukan seperti yang saya lakukan,
PERJUANGKAN! KEMBALIKAN PERASAAN!
(catatan ini ditulis dikala kantuk menyerang namun tangan ingin mengabadikan perasaan)
Rawamangun, 11.41 p.m
