Nov 25, 2011

Sentimental feeling

Semoga ini tidak berlebihan.

Dengan sesak memenuhi rongga dada, kakiku  berlari menerjang angin malam. Hujan tak turun seperti biasa, padahal hadirnya kuharap di depan mata. Agar isakan ini tak terdengar, agar air mata terlihat samar. Guncangan di bahu pun terasa lebih kencang, menelurkan dua aliran deras melalui mata hingga pipi. Oh, tidak. Sampai ke hati. Aku mulai mengirimimu pesan singkat, bahwa aku sangat terluka.

Semoga ini tidak berlebihan.

Setengah berlari aku menaikkan rok sedikit ke atas, agar laju langkahku tak terhalang. Pandangan heran orang-orang yang kebetulan melintas tak ayal membuatku semakin mempercepat langkah menuju shelter Transjakarta terdekat. Aku ingin pergi dari sini! Kau menghubungiku searah. Aku tak ingin diganggu.

Semoga ini tidak berlebihan.

Petugas yang merobek karcis Transjakarta milikku menatap iba, mungkin melihat mataku sembab. Aku memasuki bus, dan dingin di dalam sedikit mengeringkan sisa air mata di sudut-sudut mata. Tak ingin pulang dalam kondisi seperti ini. Aku harus kemana? Pesan singkat masuk darimu, “mau kemana?”.

Semoga ini tidak berlebihan.

Aku ada di perempatan jalan kawasan bisnis ketika taksi berhenti di depanku. Tanpa fikir panjang, suatu hal yang tidak akan mungkin aku lakukan disaat seperti ini, aku masuk dan duduk tepat di belakang supir. Sebelum ia menanyakan tujuanku, aku sudah lebih dulu menyebutkan suatu taman kota, tempat dimana aku ingin menghabiskan waktu sendiri malam ini. “Ini di taman kota”, pesanmu ku balas seadanya.

Semoga ini tidak berlebihan.

Taman kota sepi malam ini. Pas sekali. Beberapa musisi jalanan memperhatikan tingkahku sambil memainkan alat musik. Melangkah perlahan dengan buku di tangan serta mp3 player di leher, aku memutuskan duduk di bawah pohon rindang. Sendirian. Pandanganku tepat menghadap ke jalanan, hingga aku memutuskan lebih baik menunduk dan bermain dengan semut-semut di atas rerumputan. “Aku kesana sekarang, hindari tempat sepi”, bunyi pesanmu. Terserah, fikirku.

Semoga ini tidak berlebihan.

Leherku pegal, terlalu lama bermain dengan tangisan dan semut di rerumputan. Kuputuskan membaca buku, mungkin akan sedikit melupakan kejadian yang sangat melukaiku tadi. Sedikit mendendangkan lagu dari mp3 player, perlahan aku tenggelam di dalam cerita. Salah. Itu sesaat saja. Kuputuskan untuk menulis, cara yang paling asertif dalam keadaan terluka seperti sekarang. “Kamu dimananya?”, kirimmu kali ini.

Semoga ini tidak berlebihan.

Aku sibuk mengatur sudut tulisan, kau tak henti mengirimiku pesan. Aku biarkan. Meski aku tak ingin diganggu, aku tak ingin buatmu khawatir dan menunggu. Namun aku ingin sedikit menguji takdir, yang katanya tak bisa kita ubah seenaknya. “Kamu dimana, hp ku low, tolong bales”, pintamu. Lebih baik biarkan takdir yang mengantarmu kepadaku, putusku.

Semoga ini tidak berlebihan.

Disekitarku mulai ramai, volume mp3 player pun kubesarkan. Lagu Lihat, Dengar, Rasakan milik Sheila on 7 mengalun kencang di telinga. Tak kuacuhkan siapa yang menatap, aku hanya ingin bersama dengan buku dan musikku. Meski aku butuh pelukmu untuk menumpahkan tangis yang aku yakin masih tersisa, aku memilih tetap tidak membalas pesanmu. Takdir, semoga kau benar-benar menuntunnya, bisikku.

Semoga ini tidak berlebihan.

Disinilah kamu, tepat di sebelah kiriku. Mengusap pelan kepalaku. “Kenapa disini? Ini kan tempat sepi..kamu kemana aja ga bales pesanku..aku sampai pinjam hp polisi buat ngehubungin kamu..”, ocehmu lembut. Aku tetap fokus pada buku dan musikku. Seperti biasa, jika aku sudah tak ingin lagi berbicara, kau mulai membenamkan kepalaku di dadamu. Kudengar detak jantung yang begitu kencang, dan aku mulai terisak perlahan. Aku luruh dalam pelukmu. Tangan kirimu sibuk menghapus air mataku, terkadang mengusap-usap punggung tangan kiriku. Kau tahu aku terluka, hingga tak banyak bicara. Kau biarkan angin membelai wajah kita berdua.

Semoga ini tidak berlebihan.

”Kalo aku ga nemuin kamu tadi gimana? Aku udah muter-muter nyariin tau, kenapa susah banget buat kasih tau, kan bahaya udah malem..” katamu gemas sambil mengusap-usap kepalaku. Takdir, ucapku pelan. Takdir aku biarkan menuntunmu malam ini, karena aku lelah sekali. Kulihat senyum di bibirmu dari sudut mataku. Kau raih tangan kiriku, dan tak membiarkan ruang di antaranya. Aku memejamkan mata, masih bersandar pada pelukmu. Berharap ketika mata terbuka, segala luka yang ada sebelumnya menguap dan pergi seutuhnya.

Semoga ini tidak berlebihan.

Terima kasih untuk luka.malam.angin.air mata.peluk.cinta.
Takdir, yang membawa mereka semua ada.
Jakarta, 24 November 2011,

Share: